Kamis, 15 Desember 2011

kapita selekta hukum keluarga

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[1] Begitu pula dalam al-Qur’an surat an-nisa ayat 5, Allah SWT., menjelaskan bahwa perkawinan itu merupakan sunatullah yang harus dilaksanakan oleh umat manusia bahwa manusia dijadikan-Nya berpasang-pasangan dan diantara keduanya terdapat saling berkehendak, ingin hidup bersama. Keinginan biologis ini dapat disalurkan secara benar dengan ikatan pernikahan. Dalam hubungan pernikahan itu pasangan suami isteri memperoleh ketentraman, hidup dalam suasana kasih sayang, penuh rahmat dan kelembutan. Kehidupan yang penuh nikmat itu adalah karunia Allah yang amat besar dan berharga bagi umat manusia.
Dalam suarat ar-Rum ayat 21 Allah berfirman yang artinya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang (mau) berpikir”.[2]
Ayat tersebut merupakan suatu petunjuk bagaimana seharusnya suasana pasangan suami isteri dalam rumah tangga. Hanya dengan jalinan kasih dan sayang itu lah suatu rumah tangga akan menjadi damai dan lestari. Dengan suasana yang demikian, pasangan suami isteri akan mampu menunaikan misi perkawinan berikutnya, yaitu untuk melangsungkan keturunan yang tangguh dalam kehidupan di dunia, menjadi anak yang saleh dan mendoakan orang tuanya.[3]
 Adapun tujuan perkawinan itu adalah untuk menyambung keturunan yang kelak akan dijadikan sebagai ahli waris. Keinginan mempunyai anak bagi setiap pasangan suami isteri merupakan naluri insan dan secara fitrah anak-anak tersebut merupakan amanah Allah SWT., kepada suami isteri tersebut.
Bagi orang tua, anak tersebut diharapkan dapat mengangkat derajat dan martabat orang tua kelak apabila ia dewasa, menjadi anak yang saleh dan salehah yang selalu mendoakannya apabila dia meninggal dunia. Berangkat dari pemikiran inilah, baik ayah maupun ibu dari anak-anak itu sama-sama keinginan keras untuk dapat lebih dekat dengan anak-anaknya agar dapat membimbing langsung dan mendidiknya agar kelak kalau anak-anaknya sudah dewasa dapat tercapai apa yang dicita-citakan itu. Demikian pula anak-anak yang telah lahir dari perkawinan tersebut, selalu ingin dekat dengan orang tuanya, rasanya sulit untuk berpisah karena mereka selalu ingin dilindungi dan diberikan rasa kasih sayang oleh kedua orang tuanya sampai mereka dapat berdiri sendir dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia ini.
Fakta kehidupan menunjukkan bahwa tidak sedikit perkawinan yang dibangun dengan  susah payah pada akhirnya bubar karena kemelut rumah tangga yang menghantamnya. Akibat dari perceraian tersebut tidak sedikit pula anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menanggung derita yang berkepanjangan. Terhadap adanya perbedaan keinginan dari kedua orang tua anak tersebut, timbul berbagai masalah hukum dalam pengusaan anak jika telah bercerai, misalnya siapa yang harus memelihara anak-anak mereka, hak-hak apa saja yang harus diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya.
Hal itu dapat dilihat pada kelompok masyarakat di mana perceraian sering terjadi. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab atas kelangsungan hidup dan pendidikan anak keturunan mereka. Dalam satu kondisi, dan ini yang paling berbahaya, bisa jadi baik pihak ibu maupun pihak ayah sudah tidak lagi ambil peduli dengan nasib anaknya sehingga nasib anak-anak menjadi terlantar. Tetapi dalam kondisi lain, dan ini yang banyak terjadi, baik ibu maupun ayah, masing-masing sebagai orang tua tetap mencintai anak-anaknya. Dalam kondisi demikian, masalah yang timbul adalah siapa yang lebih berhak terhadap anak-anaknya. Dalam penyelesaiannya, karena masing-masing tidak mau mengalah, sehingga mau tidak mau perlu diselesaikan secara hukum dan dengan itu berarti ada yang kalah dan ada yang menang. Apapun jalan yang dilalui untuk menyelesaikannya, yang pasti sang anak sudah tidak lagi dapat menikmati hidup dengan kasih sayang kedua orang tuanya secara serentak. Dan pada hakikatnya orang tuanya bertanggungjawab terhadap segala akibat negatif yang diderita oleh anak-anaknya. Oleh karena itu sangat disayangkan perceraian itu terjadi jika masih bisa didamaikan lebih baik berdamai daripada harus mengorbankan anak.
 Dengan begitu majelis hakim wajib memeriksa dan mengadili setiap bagian dalam gugatan para pihak, termasuk juga tuntutan hak penguasaan anak.
Ditinjau dari segi kebutuhan anak yang masih kecil dan belum mandiri, hadhanah adalah suatu perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh orang tuanya, karena tanpa hadhanah akan mengakibatkan anak akan menjadi terlantar dan tersia-sia hidupnya.[4]












BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atas tindakan bagi dirinya).[5]
Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakan sesuatu dalam pangkuan. Seorang ibu waktu menyusui, meletakan anak dipangkuannya, dan melindunginya dari segala yang menyakiti.
Hadhanah menurut istilah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.[6]
a.      Hadhanah Menurut Hukum Islam
As Shan’ani (1992:819) menjelaskan, bahwa dalam hukum Islam pemeliharaan anak disebut dengan “Al Hadhinah” yang merupakan masdar dari kata “Al Hadhanah” yang berarti mengasuh atau memelihara bayi (Hadhanah as shabiyya).
Dalam pengertian istilah, hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikan dan pemeliharaannya dari segi yang membahayakan jiwanya.
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah (1994:133) hadhanah itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik yang menyangkut dengan perkawinan maupun sesuatu yang menyangkut hartanya. Hadhanah tersebut adalah semata-mata tentang perkara anak dalam arti mendidik dan mengasuhnya sehingga memerlukan seorang wanita pengasuh untuk merawatnya sehingga dewasa.
Sedangkan Sayyid Sabiq (1996:160) mengemukakan, bahwa hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar tapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari suatu yang merusak, jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawab apabila ia sudah dewasa.
Masalah hadhanah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan, oleh karena itu, orang yang melaksanakan hadhanah tersebut haruslah mempunyai kecakapan dan kecukupan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, diantaranya:
1)      Berakal sehat, orang yang tidak sehat akalnya tidak diperkenankan merawat anak.
2)      Sudah dewasa, anak kecil  tidak diperkenankan menjadi hadhanah sebab ia sendiri masih membutuhkan perawatan orang lain.
3)      Mempunyai kemampuan dan keahlian, oleh karena itu, orang yang rabun matanya atau tuna netra, punya penyakit menular, usia lanjut dan mempunyai tabiat suka marah kepada anak-anak meskipun kerabat anak kecil itu sendiri dilarang menjadi orang yang melaksanakan hadhanah.
4)      Amanah dan berbudi luhur, orang yang curang tidak aman bagi anak yang diasuhnya, bukan tidak jarang seorang anak meniru kelakuan orang yang curang dalam kehidupannya.
5)      Beraga Islam, para ulama mazhab berbeda pendapat tentang ini, mazhab Imammiyah dan Syafi’i tidak memperkenankan seorang kafir mengasuh anak-anak yang beragama Islam, sedangkan mazhab lainnya tidak mensyaratkan hal yang demikian itu. Demikian juga para ahli hukum Islam dikalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kemurtadan wanita atau laki-laki pengasuh menggugurkan hak asuhan.
6)      Ibunya belum kawin lagi, jika si ibu anak yang diasuh itu kawin dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah yang ada padanya menjadi gugur.
7)      Merdeka atau bukan budak. Seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan majikannya yang sulit ditinggalkan.
b.      Hadhanah Dalam Hukum Positif Indonesia
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, hal tersebut terdapat dalam Pasal 45 yang berbunyi:
(1)   Kedua orang tua wajib memelihaara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2)   Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.[7]
Akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Baru lah setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menjadi dan menyelesaikannya.
Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder  sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosio ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.[8]
Dalam Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam dikemukakan:
(1)   Orang tua berkewajiban mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadiakannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau sesuatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2)   Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut dalam ayat (1) di atas.[9]
 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41 dikemukakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat dari itu adalah:
(1)   Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberikan keputusannya.
(2)   Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
(3)   Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.[10]

2.      Contoh Perkara
Contoh perkara mengenai Hadhonah ini diambil dari Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi dengan Nomor Perkara PA.b/8/PTS/144/1986, dengan perkara Hadhonah antara Penggugat Emti Budiono, SH. Bin Susanto Sutomo umur 40 tahun, lawan Tergugat Deme Detty Ekaryana Boru Damanik, umur 22 tahun. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut:
Penggugat telah mengajukan gugatannya pada tanggal 24 Maret 1986 terdaftar dalam perkara Nomor144/1986, dan selanjutnya dilengkapi dengan keterangannya di muka sidang Pengadilan Agama. Gugatan Penggugat adalah hadhanah (pemeliharaan dan pengawasan) anak yang lahir dari perkawinan antara penggugat dan tergugat (Deme Detty Ekaryana) yang menikah secara Islam pada tanggal 12 Maret 1985. Pernikahan Penggugat dengan Tergugat telah terputus demi hukum, terhitung sejak Tergugat kembali ke agama Kristen Protestan bulan Oktober 1985, sesuai dengan penetapan Pengadilan Agama Tebing Tinggi Nomor PA.b/8/PEN/114/1986 tertanggal 24 Maret 1986. Dalam masa hubungan Perkawinan, Penggugat dengan Tergugat telah memperoleh seorang anak perempuan lahir pada tanggal 7 Juli 1985 dengan diberi nama Ayu Emilya Adnistri. Penggugat mengajukan alasan-alasan agar hak hadhanah anak tersebut jatu ke tangannya, sebagai berikut:
Bahwa oleh karena Tergugat masih kuliah di Universitas Sumatera Utara Medan, tidak dapat mengasuh langsung anak Penggugat sehingga terpaksa tinggal dan diasuh keluarga (orang tua tergugat) yang masih memeluk Agama Kristen Protestan.
Bahwa oleh karena anak Penggugat lahir dari seorang ayah dan ibu yang perkawinannya menurut Agama Islam, sehingga bila tinggal dan diasuh oleh keluarganya yang masih memeluk Agama Kristen Protestan, Penggugat mengkhawatirkan Agama dan pendidikan anak penggugat tidak terjamin sesuai dengan fitrahnya, yakni lahir dari seorang ayah dan ibu yang beragama Islam, apalagi sebelum putusnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat, keluarga dan Tergugat telah meminta izin kepada Penggugat agar anak Penggugat dibaptis (dimandikan) secara keagamaan.
Selanjutnya, pihak Tergugat di muka sidang menjelaskan penolakannya untuk menyerahkan anak dengan alasan antara lain:
Bahwa anak tersebut masih balita yang tidak mungkin diurus dengan baik oleh seorang lelaki. Bahwa anak itu dipelihara oleh Tergugat bukan dipelihara oleh orang lain. Bahwa mengenai masalah agama, pihak Tergugat tidak memaksakan terhadap anak dan hal itu terserah kepada anak itu nanti jika sudah dewasa, dan Tergugat sendiri tidak berkeberatan bila anak tersebut memeluk agama selain agama yang ia peluk.
Setelah melalui proses penngadilan, maka Pengadilan Agama Tebing Tinggi memutuskan menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak hadhanah bagi anak tersebut. Setelah naik banding, keputusan ini kemudian dikuatkan oleh Pangadilan Tinggi Agama Medan, dan selanjutnya oleh Mahkamah Agung RI.
3.      Syarat-syarat Bagi yang Melakukan Hadhanah
1.      Berakal sehat.
2.      Baligh.
3.      Memiliki kemampuan untuk mendidik anak.
4.      Amanah dan berbudi pekerti baik.
5.      Beragama Islam.
6.      Merdeka.
7.      Tidak terkait dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan baik, seperti hadhinah terkait dengan pekerjaan yang berjauhan tempatnya dengan di anak, atau hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja.
8.      Hendaklah ia orang yang mukallaf.
9.      Mempunyai kemampuan melakukan hadhanah.
10.  Dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak yang baik.
11.  Hadhanah bersuamikan laki-laki yang ada hubungan mahram hadhinah.
12.  Hadhanah hendaklah orang yang tidak membenci si anak.[11]











BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
-          Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar tapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari suatu yang merusak, jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawab apabila ia sudah dewasa.
-          Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41:
(1)   Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberikan keputusannya.
(2)   Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
(3)   Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.[12]
-          Bahwa salah satu syarat bagi yang melakukan hadhanah adalah beragama Islam, jadi dalam contoh perkara tersebut di atas, artinya, bilamana seorang ibu tidak beragama Islam, maka gugurlah hak hadhanah terhadap anaknya yang beragama Islam. Karena dalam kasus tersebut anak yang diperkarakan adalah beragama Islam, karena dilahirkan dari pasangan yang beragama Islam dan nikah secara Islam. Melihat kenyataan demikian, maka masalahnya menjadi jelas, bahwa hak hadhanah berpindah kepada pihak yang beragama Islam, yaitu Penggugat (ayahnya).
Referensi
-          KHI (Kompilasi Hukum Islam).
-          Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum. Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama
-          Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer.
-          UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.



[1] Departemen Agama Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Pasal 1)
[2] Al-Qur’an
[3] Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta, Kencana, 2004, hal. 176.
[4] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Kencana, 2008, hal. 423-424.
[5] M. Abdul Mujieb dkk. Kamus Istilah Fiqih, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994.
[6] Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta, Kencana, 2004, hal. 176.
[7] Departemen Agama Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[8] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Kencana, 2008, h. 428.
[9] Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam.
[10] Departemen Agama Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
[11] Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid 3, Cet ke-1, Jakarta, PT. Pena Pundi Aksara, 2009.
[12] Departemen Agama Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.